Sahabat admin yang di karuniai Allah, disini saya
akan sedikit menceritakan biografi atau riwayat hidup Abu Nawas. Nama asli Abu
Nawas, Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H
(747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah
Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami.
Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada
Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar
bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab
al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak
kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian
membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas
digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama
orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad.
Kemudian ia pindah ke Baghdad.
Dalam Kumpulan Kisah Abu Nawas diceritakan Di
pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair.
Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para
bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah
puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat
penguasa.
Biografi Abu Nawas diceritakan juga Dalam
Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka
sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang
dikenal di dunia intelektual,
Abu Nawas hanya dipandang sebagai orang yang
suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik
perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli,
Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Sikapnya
yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna.
Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi
legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah
menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca
puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja
Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari
Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak.
Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga
Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah
puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali
lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin. Sejak
mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika
sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan
hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi.
Ia pernah hidup dalam kegelapan -tetapi yang
justru membawa keberkahan tersendiri.Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf
bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan
kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya
yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa
lalunya. Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda.