Sahabat admin yang di karuniai Allah, Sebagai salah satu
tradisi kebanggaan masyarakat Gayo, Aceh, didong dipentaskan oleh dua kelompok
yang terdiri dari banyak orang, dengan bantal (kampas) yang ditepuk-tepuk
sebagai alat musiknya. Dalam bahasa Gayo, kelompok ini biasa disebut ulu atau
kelop. Sementara para senimannya dipanggil dengan sebutan ceh.
Untuk
bisa menjadi seorang ceh dibutuhkan beberapa syarat, seperti memiliki suara
yang merdu, bisa menciptakan lagu sendiri dan harus mampu melahirkan
puisi-puisi spontan dalam suatu pertandingan. Seorang ceh harus berperan
memimpin kelompoknya untuk mewujudkan disiplin gerak yang serasi dan indah,
serta semangat bertanding yang tetap bergelora.
Sebagai
refleksi kuat atas budaya masyarakat Gayo, didong kerap kali dianggap sebagai
”kesenian rakyat” atau ”nyanyian rakyat” (folksong). Dengan kata lain, ia
merupakan kesenian adat. Padahal, bila diteliti lebih jauh, didong juga bisa
dikatakan sebagai salah satu kesenian Islam, bukan saja milik Gayo di Aceh,
tapi juga masyarakat Indonesia. Dari sisi struktur (cara berpakaian, gaya
bertutur, dan sarana yang dipakai para seniman didong) maupun infrastruktur
(makna di balik syair-syair didong), tradisi lisan ini mengisyaratkan beberapa
simbol Islam.
Salah
satu simbol Islam di dalam didong adalah para senimannya acapkali mengenakan
kopyah atau penutup kepala sejenis songkek. Dalam tradisi Islam Indonesia
khususnya, kopyah seringkali dijadikan sebagai simbol Islam. Karena itu, ketika
ada seorang mengenakan penutup kepala jenis ini seringkali disebut seorang
Muslim.
Simbol
Islam lainnya di dalam didong adalah para senimannya mengenakan pakaian yang
sangat tertutup dan sopan. Selain itu, syair-syair yang terdapat di dalam
didong mengisyaratkan sisi spiritual dan kemanusiaan yang begitu kuat buat para
pendengar. Syair-syair didong dikenal tidak nakal atau pornografis, sama halnya
syair-syair yang terdapat dalam musik kasidah atau rebana.
Bahkan,
pada titik yang lebih jauh, antara musik rebana dengan musik didong sebenarnya
tidak jauh berbeda. Keduanya menggunakan alat musik yang ditabuh secara
beramai-ramai. Bedanya, didong menampilkan dua kelompok untuk diadutanding,
sementara semi rebana cukup satu kelompok. Didong menggunakan bahasa Gayo
sebagai ekspresi komunikasi, sementara rebana bebas nilai; tergantung karsa
penciptanya. Syair didong sungguh puitis dan rebana menggunakan bahasa verbal.
Di dalam Al-Qur’an hanya
disebutkan bahwa Allah swt. sangat menyukai kepada hal-hal yang indah, dan
musik merupakan salah dari ekspresi keindahan. Salah satu fungsi didong adalah
sebagai kritik sosial atas ketimpangan yang terjadi di masyarakat.